Kewirausahaan
pada dasarnya adalah kegiatan perubahan. Dan perubahan dengan basis
kewirausahaan berawal dari pandangan bahwa setiap masalah adalah peluang.
Jadi kalau
Anda suka dengan perubahan, cobalah melakukannya dengan memecahkan masalah
sampah di lokasi Anda tinggal. Semua masalah perubahan ada di sana: Ya
kebiasaan, masalah sosial, mindset, resistensi warga, permainan oknum
aparat pemda, keterlibatan agen-agen perubahan, sampai pengorbanan, biaya dan
kreativitas untuk menjadikannya peluang usaha.
Jadi ini
bukan hanya masalah gubernur DKI yang lagi mumet mengatasi banjir dan kemacetan
lalu lintas di DKI. Ini masalah semua orang lain dari Pelabuhan Malahayati di
Banda Aceh,Sinabang di Pulau Siemeleu, Danau Toba, Pantai Kuta, Banjarmasin,
Danau Jikumerasa di Pulau Buru sampai Manado dan Merauke. Semua kota, danau dan
sungai-sungai itu telah tercemar oleh sampah. Dan yang terbanyak adalah botol
plastik AMDK dan sachet shampoo.
Bila dulu 80
persen sampah adalah organik, kini sebaliknya, 80 persen sampah adalah plastik
dan kemasan anorganik yang sulit diurai oleh tanah. Padahal semua itu adalah
biomas, bahan bakar yang bisa dipakai buat menggerakkan PLTU, dan tungku-tungku
api di berbagai pabrik yang kalorinya hanya berbeda 10-20 persen dari batubara.
Sampah Pasar
Harus diakui metode penanganan sampah kita tak ada kemajuan sejak 40 tahun yang lalu meski UU pengolahan sampah sudah harus dijalankan. Sejak 40 tahun yang silam, semua pemda hanya fokus menyangkut sampah dari pasar, yaitu pasar tradisional ke TPA yang terbuka.
Harus diakui metode penanganan sampah kita tak ada kemajuan sejak 40 tahun yang lalu meski UU pengolahan sampah sudah harus dijalankan. Sejak 40 tahun yang silam, semua pemda hanya fokus menyangkut sampah dari pasar, yaitu pasar tradisional ke TPA yang terbuka.
Ya, hanya di
pasar becek itulah kita menemukan bak besar penanganan sampah. Itupun hanya
satu-dua buah bak sampah. Warga masyarakat yang tak punya tempat pembuangan pun
mengorganisir diri. Membayar lewat RT/RW yang lalu mencari orang yang biasa
mengangkut dengan gerobak dorong. Di sana Pemda absen, atau membiarkannya
menjadi obyekan para oknum.
Sampah-sampah
itu dibuang ke dalam bak semen yang terletak di bagian luar rumah, lalu petugas
menyeroknya dengan menggunakan garpu besar dan pacul. Karena bingung, maka
mereka pun mencari lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan area pembuangan.
Biasanya di tepi kali. Kalau hujan turun, sampah pun hanyut, lalu menumpuk di
muara (Jakarta). Sebab kalau membuang di bak pasar, mereka dikenakan ongkos
oleh mantri pasar.
Di pasar
sendiri, daya tampungnya semakin hari semakin tak memadai. Ratusan orang
bersepeda motor, setiap hari membuang satu-dua kantong plastik berisi sampah
dari kampung-kampung yang tak mempunyai sistem pengangkutan sampah.
Jadi 700
truk angkut sampah di DKI itu adalah pengangkut sampah pasar saja. Lantas siapa
yang mengani sampah di wilayah perumahan?
Ketua RT/RW
yang cerdik pun mencari akal mendekati mobil-mobil dinas kebersihan milik
pemda. Mereka melakukan deal. Keputusannya, sampah diangkut setiap hari.
Masalahnya,
sekarang jalan-jalan semakin macet. Jam untuk perjalanan truk keluar-masuk
dalam kota kini dibatasi. Di TPA pun truk-truk sampah harus antri, macet.
Akibatnya truk-truk itu semakin lamban beroprasi dan sampah di daerah perumahan
semakin tak terurus. Dari tiga rit zaman dulu, kini truk-truk sampah hanya bisa
mengangkut satu rit sampah sehari.
Tapi tahukah
anda, masih ada satu masalah lagi: bak semen. Ini bak sampah yang ada di depan
rumah-rumah kita. Bak itu tak bisa diangkat seperti layaknya bak-bak pelastik.
Jadi perlu waktu untuk memindahkannya ke dalam truk.
Seorang teman pernah berhitung. Ternyata perlu waktu 6 menit untuk mengorek habis sampahnya dan diangkut. Jadi dengan perjalanan keliling perumahan, dalam 1 Jam, paling banyak hanya sampah dari 10 buah rumah yang bisa diangkut. Kalau petugas beroperasi 4 jam, artinya hanya separuh RT (40 KK) yang sampahnya bisa diangkut. Sekarang anda mengerti bukan, mengapa sampah-sampah anda hanya diangkat seminggu sekali.
Seorang teman pernah berhitung. Ternyata perlu waktu 6 menit untuk mengorek habis sampahnya dan diangkut. Jadi dengan perjalanan keliling perumahan, dalam 1 Jam, paling banyak hanya sampah dari 10 buah rumah yang bisa diangkut. Kalau petugas beroperasi 4 jam, artinya hanya separuh RT (40 KK) yang sampahnya bisa diangkut. Sekarang anda mengerti bukan, mengapa sampah-sampah anda hanya diangkat seminggu sekali.
Dan kalau
satu rumah membayar Rp 30.000 (sebulan) untuk biaya kebersihan, berarti untuk
satu RT (80 KK) hanya didapat Rp 2,4 juta sebulan atau Rp 80.000 per hari. Ini
jelas tak menarik bagi petugas yang ngobyek atau bisnis angkutan yang
menggunakan truk. Kalau satu RW saja ada 800 warga, berarti didapat Rp 24 juta.
Itupun 10 persen warga biasanya tak mau membayar. Namun kalau perumahan kelas
menengah, biasanya bersedia membayar lebih.
Nah ongkos
sewa truk saja sebulan bisa mencapai Rp 10 juta, belum termasuk biaya bensin,
upah buruh, dan ongkos buang. Itupun tidak bisa setiap hari diangkut. Jadi
bayangkanlah, apa yang akan dilakukan masyarakat selain membuang sampahnya ke
tanah-tanah kosong di tepi-tepi kali?
Bisnis
Sampah
Sekitar
sepuluh tahun yang lalu Rumah Perubahan pernah menaruh perhatian yang serius
terhadap masalah sampah. Kami memperkenalkan wirausaha-wirausaha baru yang
mengolah sampah lingkungan. Salah satunya berhasil membuat mesin pencacah skala
satu kelurahan.
Tetapi
masalahnya, diperlukan change management yang kuat untuk menjalankannya.
Namun sebagian pengusaha cenderung tak berani melakukannya. Mereka hanya
melakukan business as usual.
Jadi,
pertama, harus ada keinginan dari warga agar sampahnya diurus orang lain, namun
mereka harus rela membayar biayanya.
Kedua,
bak-bak semen harus diganti dengan ember-ember plastik besar dengan cara lima –
enam rumah memakai satu bak sampah besar. Ketiga, sampah-sampah itu diangkut
dengan baktor yang biaya angkutnya murah dan bisa menembus kampung,
Keempat,
harus ada sepetak tanah ukuran sekitar 100 meter persegi yang dialokasikan
untuk mengolah sampah masyarakat untuk mencacah dan memilah.
Dan kelima
harus ada wirausaha yang mau mengotori tangan menjalankan bisnis ini.
Nah, dimana Change-nya?
Begini. Saat
program dimulai Anda akan bertemu banyak hambatan. Ada warga yang tak mau
membayar, lebih senang membuang secara cuma-cuma daripada diurus orang lain.
Ada banyak orang yang tak ingin bak semennya diganti, dan kalau diganti bak
plastik, mereka tak ingin bak itu ditaruh di depan rumah mereka.
Anda mungkin
akan menemukan bak-bak itu hilang digotong orang, atau sampah dan bak
plastiknya dibakar orang-orang tertentu. Ketika kucing atau pemulung mengorek-ngorek
sampah dan berceceran di luar bak, mereka yang depan rumahnya dijadikan tempat
peletakkan bak plastik bersma a mudah tersinggung dan minta agar bak itu
dipindahkan. Setelah itu Anda akan bertemu dengan ketua-ketua RT yang minta
bagian uang sampah, bahkan mereka minta hak untuk mengumpulkannya, tetapi
seringkali menunggak penyerahannya kepada Anda.
Ini baru
sedikit masalah. Setelah itu Anda akan diprotes warga yang tinggal di dekat
tempat pengolahan sampah. Mereka akan mengatakan “Sampah ini bau” dan
mengganggu keluarga mereka. Mereka juga menuding, air tanahnya tercemar. Di
tambah lagi, akan datang aparat dari kecamatan atau kotamadya yang
mempersoalkan “izin pengelolaan sampah” yang tak pernah Anda ketahui.
Tapi jangan
berkecil hati. Semua itu ada solusinya. Saya sendiri sudah menjalakannya dan
melewati masa-masa yang lebih sulit dari yang bisa diceritakan. Dan jangan
lupa, di balik itu semua ada peluang bisnis yang besar. Bau yang menyengat pun
tak terjadi. Semua bisa diatasi asal anda tekun.
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar